Jumat, 13 September 2013

UANG JEMPUTAN & UANG HILANG DALAM ADAT PERNIKAHAN DI PARIAMAN

Sebagai orang minang yang hidup diperantauan saya sering ditanya masalah “uang jemputan” ini padahal saya sendiri tidak sepenuhnya mengerti mengenai masalah ini karena ditempat saya sendiri (payokumbuahi) tidak ada tradisi tersebut karena memang di ranah minang tradisi tersebut hanya berlaku di daerah Pariaman. Tetapi untuk sekedar berbagi maka saya mencoba untuk menguraikan nya yg saya dapat dari sebuah milist di internet, mudah-mudahan bermanfaat.

Bedakah masing-masing UANG JEMPUTAN & UANG HILANG ?

Umumnya masyarakat yang awam tentang kedua istilah ini menyamakan saja antara Uang Jemputan dengan Uang Hilang. Padahal tidak semua orang Pariaman mengerti tentang masalah ini.

Pada awalnya uang jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan, Bagindo dan Sidi dimana ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah atau patriachat.

Dengan demikian di Pariaman berlaku 2 macam gelar, yaitu :

yang satu gelar dari ayah

yang satu lagi gelar dari mamak,

hanya saja gelar dari Mamak, terpakai adalah gelar Datuak dan gelar Malin saja, misalnya dapat kita contohkan pada seorang tokoh minang yang berasal dari Pariaman, yaitu Bapak Harun Zein (Mantan Mentri Agraria dan Gubernur Sumbar). Beliau mendapat gelar Sidi dari ayahnya dan mendapat gelar Datuak Sinaro dari Ninik Mamaknya. Sehingga lengkaplah nama beliau berikut gelarnya Prof. Drs. Sidi Harun Alrasyid Zein Datuak Sinaro (dari persukuan Piliang) .

Lantas siapakah mereka pemegang gelar yang 3 itu?

· Gelar Sutan dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada petinggi atau bangsawan Istano Pagaruyuang yang ditugaskan sebagai wakil raja di Rantau Pasisia Piaman Laweh. Ingat konsep luhak ba-panghulu - Rantau ba Rajo, seperti :

- Rajo Nan Tongga di Kampuang Gadang Pariaman,

- Rajo Rangkayo Basa 2×11 6 Lingkuang di Pakandangan,

- Rajo Sutan Sailan VII Koto Sungai Sariak di Ampalu,

- Rajo Rangkayo Ganto Suaro Kampuang Dalam,

- Rajo Tiku di Tiku dll

· Gelar Bagindo dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada para Petinggi Aceh yang bertugas didaerah Pariaman. Ingatlah bahwa wilayah Pariaman & Tiku pernah dikuasai oleh kerajaan Aceh dizaman kejayaan Sultan Iskandar Muda.

· Gelar Sidi diberikan kepada mereka2 yang bernasab kepada kaum ulama (syayyid), yaitu penyebar agama Islam didaerah Pariaman

Pemakaian gelar tunggal ini langsung diikuti dengan nama-nama, misalnya Sutan Arman Bahar atau Bagindo Arman Bahar atau Sidi Arman Bahar. Sedangkan gelar dari Mamak yang bukan gelar Datuak akan ditaruh dibelakang nama, seperti : Sutan Sinaro, Sutan Batuah, Sutan Sati tidak lazim dipakai di Pariaman kecuali gelar Malin. Seperti Arman Bahar Malin Bandaro ada juga terpakai

Banyak adat Minangkabau yang dipegang teguh di di Pariaman seperti diantaranya “rumah gadang ka-tirisan (rumah besar yang bocor), gadih gadang indak balaki (gadis yang sudah cukup umur tetapi belum nikah) dan maik tabujua ditangah rumah (mayat terbujur di tengah rumah)”. Indak kayu janjang dikapiang. indak ameh bungkah di-asah, maka yang sering menonjol di Pariaman adalah “Gadih Gadang Indak Balaki”. Sehingga para Ninik Mamak orang Pariaman sangat concern untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Saking pedulinya para Ninik Mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai anak bujang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif). Artinya pihak keluarga anak gadis - siap sedia memberikan kompensasi berapapun nilainya - asal anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami.

Dari sinilah munculnya Uang Hilang yang dalam prakteknya sama dijalankan dengan uang jemputan. Pengertian uang jemputan adalah Nilai tertentu yang akan dikembalikan kemudian kepada keluarga pengantin wanita pada saat setelah dilakukan acara pernikahan. Pihak Pengantin Pria akan mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya setara dengan nilai yang diberikan oleh keluarga Pihak Pengantin Wanita sebelumnya kepada keluarga Pengantin Pria. Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (Anak Daro) berkunjung atau Batandang ka rumah Mintuo. Bahkan pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak Marapulai sebelumnya karena ini menyangkut menyangkut gensi keluarga marapulai itu sendiri.

Karena dalam prakteknya uang hilang dan uang jemputan dilakukan sejalan/bersamaan, maka yang ke sohor adalah UANG JEMPUTAN. Padahal yang dipermasalahkan dan keberatan pihak keluarga pengantian wanita adalah munculnya UANG HILANG atau UANG DAPUR.

Uang Jemputan ini sebenarnya adalah uang kontribusi dan uang distribusi. Artinya bagi yang menerima uang jemputan semestinya ia harus mengembalikan kepada pihak pengantin wanita/anak daro. Sementara UANG HILANG atau UANG DAPUR merupakan uang kompensasi sesuai dengan kesepakatan kedua keluarga.

Semuanya jika tidak ada permusyawarahan antara para ninik mamak dan kesepakatan diantara dua keluarga. Keboleh jadian bahwa perkawinan tidak akan berlangsung bila pihak keluarga wanita tidak menyetujui.

Kesimpulannya uang jemputan tidak sama dengan uang hilang. Uang jemputan memiliki kewajiban dari keluarga marapulai untuk mengembalikan kepada anak daro dalam bentuk perhiasan atau pemberian lainnya pada saat dilangsungkan acara Manjalan Karumah Mintuo

Hal yang wajar bila ada kekhawatiran kaum ibu orang Pariaman, jika anak lelakinya yang diharapkan akan menjadi tulang punggung keluarga ibunya kemudian setelah menikah lupa dengan NASIB DAN PARASAIAN ibu dan adik-adiknya. Banyak kasus yang terdengar walau tidak tercatat ketika telah menjadi orang Sumando dikeluarga isterinya telah lalai untuk tetap berbakti kepada orang tua dan saudara kandungnya. Ketika sang Bunda masih belum puas menikmati rezeki yang diperoleh anak lelakinya itu menjadikan para kaum ibu di Pariaman keberatan melepas anak lelakinya segera menikah. Dikawatirkan bila anak lelakinya itu cepat menikah, maka pupus harapannya menikmati hasil jerih payahnya dalam membesarkan anak lelakinya itu. Lagi pula para kaum ibu itupun sadar bahwa tanggung jawab anak lelakinya yang sudah menikah, akan beralih kepada isteri dan anaknya.

Ketika datang desakan dari pihak gadis dan tiap sebentar datang mendesak sesuai tradisi yang berlaku di daerah itu, maka posisi anak bujang itu menjadi begitu berarti. Bahkan agak terkesan memaksakan kehendak jika tidak dikatakan merongrong dari berbagai fihak keluarga gadis yang ingin bemenantukan anaknya. Hal yang lumrah pula bila suatu keluarga menginginkan anak gadis mereka cepat menikah sebelum datang tudingan perawan tua bagi seorang anak gadis. Sebaliknya seorang Ibu yang mempunyai anak bujang yang sudah mapan kehidupannya tentu ia akan meneriman tawaran menggiurkan berupa UANG HILANG atau apapun istilahnya dari fihak keluarga gadis.

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ketika orang yang datang mendesak, maka ketika itu sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan - terjadilah tawar menawar. Bargaining power akan lebih kuat bila sang ibu pihak lelaki mempunyai anak yang mapan seperti dokter, saudagar sukses, insinyur chevron bahkan bergelar Sidi pula lagi

Keluarga mana yang tidak ingin anak gadisnya akan hidup tenang dengan calon suami yang keren & mapan begitu. Jadilah pepatah yang berbunyi “indak ameh bungkah di-asah, indak kayu janjang dikapiang” asal anak gadisnya mendapatkan anak bujang yang sudah mapan hidupnya. Para Gadis tentunya akan senang bersuamikan dokter atau insinyur chevron yang gajinya besar itu

Disini kita lihat betapa pedulinya Para Mamak orang Pariaman untuk masalah yang satu ini, dalam rangka menghindari Gadih Gadang Indak Balaki alias perawan tua.

Mohon maaf kalau tidak sepenuhnya benar

Tidak ada komentar: