Saat
mendengar kata “Gadih Minang”, yang muncul dalam benak saya adalah
seorang gadis dengan tutur kata dan laku yang lemah lembut. senantiasa
menjaga kesopanan, baik dalam bertindak, maupun dalam bertutur kata.
Pandai menjaga diri dari pengaruh buruk lingkungannya. berbakti pada
orang tua dan nagarinya.
Memegang teguh adat istiadat serta agamanya. itulah gadis minang yang saya bayangkan.
Akan tetapi, apa yang dibayangkan belum tentu sama dengan kenyataannya.
lihatlah di sana-sini, sudah banyak pengaruh-pengaruh buruk yang sampai pada para gadis yang lemah lembut ini. pada gadis-gadis yang terjaga oleh “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
jika dahulu saat kita menilik ke Kampuang-kampuang, masihlah banyak kita temui para anak gadis yang seperti itu. sekarang? cobalah kita melihat, bahkan anak gadis pun sudah bergaya layaknya artis-artis sinetron yang ada di televisi.
Semakin berkurang anak gadis yang berusaha menutup auratnya dengan baik. bertutur kata dengan “kato nan ampek”. atau berperilaku sesuai dengan adat dan norma yang berlaku.
berganti kini dengan anak-anak gadis yang doyan bersolek dengan celana “hotpant”, berbicara dengan bahasa gaul. bahkan berperilaku bebas layaknya orang yang tiada mengerti adat dan agama.
bagaimana dengan di kota? jika kita melihat kampuang2 saja seperti itu, apalagi para anak gadis di kota. modernisasi sudah menggerus pemahaman norma adat dan agama yang berusaha ditanamkan oleh orang tua dan guru mereka.
semua pengetahuan tentang budaya, norma atau agama dianggap hal yang ketinggalan jaman. berganti dengan pergaulan yang modern. BBM, dugem, atau perilaku hedonis lainnya sudah menggantikan kebiasaan mengaji atau belajar kesenian daerahnya.
banyak di antara mereka yang bahkan tidak tau kesenian asli nagari nya sendiri.
jangankan untuk menguasainya. hal semacam ini pastilah menjadi sebuah ironi pada masyakat kita.
di saat kita membanggakan keragaman budaya di Indonesia, para pemuda-pemudinya malah tidak mengerti apa-apa tentang budaya mereka sendiri. bahkan yang lebih mengenaskan lagi, mereka lebih paham dengan kebudayaan korea daripada budaya negerinya sendiri.
ah, saya merindukan sebuah kampung dengan kondisi yang masih terjaga kemurniannya.
tidak terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh buruk dari luar.
bukankah komunikasi dan informasi itu untuk mensejahterakan bangsa?
bukannya untuk membuat harga diri bangsa menjadi runtuh.
ah, saya merindukan gadis minang yang lemah lembut.
bukan gadis minang yang gaul dan menyibukkan diri dengan BBM atau dengan budaya ke-korea-an mereka.
jika bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan budaya bangsa ini?.
Memegang teguh adat istiadat serta agamanya. itulah gadis minang yang saya bayangkan.
Akan tetapi, apa yang dibayangkan belum tentu sama dengan kenyataannya.
lihatlah di sana-sini, sudah banyak pengaruh-pengaruh buruk yang sampai pada para gadis yang lemah lembut ini. pada gadis-gadis yang terjaga oleh “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
jika dahulu saat kita menilik ke Kampuang-kampuang, masihlah banyak kita temui para anak gadis yang seperti itu. sekarang? cobalah kita melihat, bahkan anak gadis pun sudah bergaya layaknya artis-artis sinetron yang ada di televisi.
Semakin berkurang anak gadis yang berusaha menutup auratnya dengan baik. bertutur kata dengan “kato nan ampek”. atau berperilaku sesuai dengan adat dan norma yang berlaku.
berganti kini dengan anak-anak gadis yang doyan bersolek dengan celana “hotpant”, berbicara dengan bahasa gaul. bahkan berperilaku bebas layaknya orang yang tiada mengerti adat dan agama.
bagaimana dengan di kota? jika kita melihat kampuang2 saja seperti itu, apalagi para anak gadis di kota. modernisasi sudah menggerus pemahaman norma adat dan agama yang berusaha ditanamkan oleh orang tua dan guru mereka.
semua pengetahuan tentang budaya, norma atau agama dianggap hal yang ketinggalan jaman. berganti dengan pergaulan yang modern. BBM, dugem, atau perilaku hedonis lainnya sudah menggantikan kebiasaan mengaji atau belajar kesenian daerahnya.
banyak di antara mereka yang bahkan tidak tau kesenian asli nagari nya sendiri.
jangankan untuk menguasainya. hal semacam ini pastilah menjadi sebuah ironi pada masyakat kita.
di saat kita membanggakan keragaman budaya di Indonesia, para pemuda-pemudinya malah tidak mengerti apa-apa tentang budaya mereka sendiri. bahkan yang lebih mengenaskan lagi, mereka lebih paham dengan kebudayaan korea daripada budaya negerinya sendiri.
ah, saya merindukan sebuah kampung dengan kondisi yang masih terjaga kemurniannya.
tidak terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh buruk dari luar.
bukankah komunikasi dan informasi itu untuk mensejahterakan bangsa?
bukannya untuk membuat harga diri bangsa menjadi runtuh.
ah, saya merindukan gadis minang yang lemah lembut.
bukan gadis minang yang gaul dan menyibukkan diri dengan BBM atau dengan budaya ke-korea-an mereka.
jika bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan budaya bangsa ini?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar