Kepala Balai Kajian, Konsultansi, dan Pemberdayaan Nagari Adat Alam Minangkabau
Jenis senjata yang sering dijadikan simbol keberadaan pangulu di Minangkabau adala
karih (keris). Sebuah karih kalau dipegang dalam posisi tegak ke atas, maka ia akan membentuk seperti huruf alif dalam aksara Arab.
A. Simbol Manusia Selaku Khalifah
Menurut ahli adat Minangkabau, hakikat huruf alif ini merupakan cerminan, simbol atau saripati dari ajaran tauhid tentang keberadaan Allah SWT selaku penguasa alam semesta ; qulhuwa allahu ahad (katakanlah olehmu, Allah itu mahaesa).
Dari huruf alif-lah segala sesuatu bermula. Maka, huruf alif itulah burhan yang nyata atas tauhid Allah yang laisa kamislihi sai’un (tidak menyerupai sesuatupun). Lalu dari huruf alif itulah asal Nur Muhammad, tempat bermulanya Allah SWT menzahirkan kebesaran limbago Adam As.
Sekarang coba kembangkan jemari tangan kanan Anda, dan hadapkan ia ke wajah. Selanjutnya, perhatikan sampai Anda dapat membayangkan rangkaian aksara Arab di jari jemari itu. Rangkaian aksara Arab ini akan mengukir nama yang mahaindah ; yaitu tulisan Allah. Ukiran nama Allah itu akan tampak seperti pada gambar di sebelah.
Menurut pemahaman syarak, seluruh ajaran Illahiah yang tersebar dalam berbagai kitab di seluruh
alam raya ini terangkum dalam 6.326 ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Karena itu Al-Qur’an sejak lama disebut nenek moyang kita sebagai Bundo Kanduang atau Ummul Kitabullah (ibu dari segala Kitab Allah). Baik kitab yang tersurat, yang tersirat, ataupun kitab yang tersuruk (tersembunyi).
Makna 6.326 ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an mengkristal dalam surat Al Fatihah. Sehingga Al-Fatihah disebut pula Ummul Al-Qur’an (ibu dari Al-Qur’an). Sedangkan kandungan makna surat Al Fatihah menggumpal pada ayat Bismillahirrahmanirrahim! Lalu makna Bismillahirrahmanirrahim menggumpal pula pada satu kata ; Allah.
Bila dikaitkan dengan posisi manusia sebagai khalifah (wakil Allah SWT) di muka bumi, maka jemari yang lima (yang menyiratkan nama Allah) inilah yang akan memegang keris. Maka ia menjadi simbol khalifah Allah SWT. Memegang keris maksudnya adalah menjadi wakil atau menjadi pemegang kuasa (mandat) dari Allah SWT untuk memimpin kelangsungan kehidupan di atas dunia ini.
Sekarang, bayangkan, jemari tangan Anda yang lima itu sedang memegang sebilah keris. Yaitu memegang dalam kondisi matanya mengacung ke atas. Bawalah ia ke depan mata. Bayangkan keris itu sebagai wujud huruf Alif dalam kata Allah ; huruf Alif yang tegak lurus, yang menjadi simbol bagi sifat Allah yang Al-Qayum (mandiri) atau Allah yang berdiri sendirinya ; qiyamuhu binafsihi.
Sebagai pemegang hulu keris, maka pangulu harus sadar bahwa ia adalah pemegang huruf alif. Karena ia adalah khalifah yang dipercayakan sebagai pemimpin dari para pemimpin.
Bertolak dari hal ini maka setiap kebijakan, keputusan yang diambil atau dikukuhkannya harus dimaknai sebagai wujud kebijakan dan keputusan selaku khalifah atau kuasa Allah SWT. Yaitu kekuasaan untuk melakukan kebijakan dan keputusan yang nantinya akan dan harus ia pertanggungjawabkan di yaumil hisab ; di hari berhisab.
Ini baru satu contoh dari banyak sekali makna yang dapat disimbolkan oleh keberadaan sebuah karih (keris) pangulu menurut Adat Minangkabau.
B. Keris Sebagai Simbol Hakim
Dalam Adat Minangkabau keris bagi seorang pangulu juga mengandung arti simbolis tentang fungsinya sebagai hakim. Yaitu sebagai penyelesai kesembrawutan, dan persoalan lainnya, seperti yang tercermin dari kata-kata berikut :
sanjato karih kabasaran,
sampiang jo cawek nan tampeknyo,
sisiknyo tanaman tabu,
lataknyo condong ka kida,
dikesong mako dicabuik,
gembo tumpuan puntiang,
tunangan ulu kayu kamat,
kokoh tak rago diambalau,
guyahnyo bapantang tangga,
bengkok nan tangah tigo patah,
tapi luruih manahan tiliek,
bengkok dimakan siku-siku,
luruih dimakan banang,
bungka ganok manahan asah,
ameh batuah manahan uji,
hukum adie manahan bandiang,
jikok bananyo manahan tiliek,
bamato baliek batimba,
tajam tak rago diasah,
putieh tak rago dek bakilie,
sanyawo pulo jo gembonyo,
pantang balampeh ka asahan,
mamutuih rambuik diambuihkan,
tajam nan indak malukoi,
kan parauik parik ulu,
pangikih miang di kampuang,
panarah nan bungkuak sarueh,
ipuah nan turun dari langik,
biso nan pantang katawaran,
jajak ditikam mati juo,
ka palawan dayo rang haluih,
ka panulak musuah di badan,
jalan nan buruak jan tatampuah,
karih sampono ganjo erah,
lahia batin pamaga diri,
patah lidah bakeh alah,
patah karih bakeh mati.
Kata-kata adat di atas mencerminkan bahwa selain menjadi simbol khalifah, dan hakim, keris pangulu juga melambangkan fungsi dan peranan kepemimpinannya dalam hal mempertahankan diri sewaktu menghadapi musuh.
Keris Urang Minangkabau
Seperti penyisipan keris yang miring ke kiri, ini melambangkan suasana perdamaian. Maksudnya jika hendak menggunakannya, keris yang miring ke kiri tersebut tidak bisa langsung dicabut. Kalau ingin mencabut, keris itu harus diputar terlebih dahulu ke arah kanan. Artinya, harus ada kesempatan untuk berfikir ulang dalam menyikapi segala sesuatunya. Jadi, ibarat pemakai keris, setiap orang, terutama seorang yang telah menjadi pangulu diisyaratkan agar jangan sampai berlaku ceroboh. Apalagi bertindak emosional. Ia harus sabar, dan bijak mempertimbangkan akibat dari setiap kebijakan atau setiap tindakannya.
Kemudian seorang yang menjadi pangulu dalam menyikapi sesuatu harus berdasarkan landasan sebagai alasan yang kuat dalam mempertimbangkan segala sesuatunya. Hal ini sesuai dengan ajaran adat yang berbunyi, kok mancancang balandasan, jiko manitih bapamacik (kalau mencencang pakai landasan, jika meniti pakai pegangan).
Alasan alasan yang dipakai pangulu itu harus bisa teruji berdasarkan dalil yang jelas, seperti disebutkan dalam penggambaran sebelumnya :
bengkok dimakan siku-siku,
lurus dimakan benang ukuran,
bungkal genap menahan asah,
emas bertuah menahan uji,
hukum adil menahan banding,
jika benarnya menahan bukti...
Yang terpenting dari segalanya, adalah bahwa seluruh kebijakan dan tindakan yang dilakukan adalah demi kemaslahatan hidup masyarakat banyak. Untuk meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran dan kenyamanan masyarakat yang dipimpinnya. Dengan kata lain yaitu untuk menegakkan yang ma’ruf dan membebaskan masyarakat dari kemungkaran ; amar ma’ruf, nahi munkar.
# Tulisan ini adalah cuplikan dari buku karangan Yulfian Azrial (2012) : Manjadi Pangulu hal. 39-48, Penerbit Pena Indonesia.
karih (keris). Sebuah karih kalau dipegang dalam posisi tegak ke atas, maka ia akan membentuk seperti huruf alif dalam aksara Arab.
A. Simbol Manusia Selaku Khalifah
Menurut ahli adat Minangkabau, hakikat huruf alif ini merupakan cerminan, simbol atau saripati dari ajaran tauhid tentang keberadaan Allah SWT selaku penguasa alam semesta ; qulhuwa allahu ahad (katakanlah olehmu, Allah itu mahaesa).
Dari huruf alif-lah segala sesuatu bermula. Maka, huruf alif itulah burhan yang nyata atas tauhid Allah yang laisa kamislihi sai’un (tidak menyerupai sesuatupun). Lalu dari huruf alif itulah asal Nur Muhammad, tempat bermulanya Allah SWT menzahirkan kebesaran limbago Adam As.
Sekarang coba kembangkan jemari tangan kanan Anda, dan hadapkan ia ke wajah. Selanjutnya, perhatikan sampai Anda dapat membayangkan rangkaian aksara Arab di jari jemari itu. Rangkaian aksara Arab ini akan mengukir nama yang mahaindah ; yaitu tulisan Allah. Ukiran nama Allah itu akan tampak seperti pada gambar di sebelah.
Menurut pemahaman syarak, seluruh ajaran Illahiah yang tersebar dalam berbagai kitab di seluruh
alam raya ini terangkum dalam 6.326 ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Karena itu Al-Qur’an sejak lama disebut nenek moyang kita sebagai Bundo Kanduang atau Ummul Kitabullah (ibu dari segala Kitab Allah). Baik kitab yang tersurat, yang tersirat, ataupun kitab yang tersuruk (tersembunyi).
Makna 6.326 ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an mengkristal dalam surat Al Fatihah. Sehingga Al-Fatihah disebut pula Ummul Al-Qur’an (ibu dari Al-Qur’an). Sedangkan kandungan makna surat Al Fatihah menggumpal pada ayat Bismillahirrahmanirrahim! Lalu makna Bismillahirrahmanirrahim menggumpal pula pada satu kata ; Allah.
Bila dikaitkan dengan posisi manusia sebagai khalifah (wakil Allah SWT) di muka bumi, maka jemari yang lima (yang menyiratkan nama Allah) inilah yang akan memegang keris. Maka ia menjadi simbol khalifah Allah SWT. Memegang keris maksudnya adalah menjadi wakil atau menjadi pemegang kuasa (mandat) dari Allah SWT untuk memimpin kelangsungan kehidupan di atas dunia ini.
Sekarang, bayangkan, jemari tangan Anda yang lima itu sedang memegang sebilah keris. Yaitu memegang dalam kondisi matanya mengacung ke atas. Bawalah ia ke depan mata. Bayangkan keris itu sebagai wujud huruf Alif dalam kata Allah ; huruf Alif yang tegak lurus, yang menjadi simbol bagi sifat Allah yang Al-Qayum (mandiri) atau Allah yang berdiri sendirinya ; qiyamuhu binafsihi.
Sebagai pemegang hulu keris, maka pangulu harus sadar bahwa ia adalah pemegang huruf alif. Karena ia adalah khalifah yang dipercayakan sebagai pemimpin dari para pemimpin.
Bertolak dari hal ini maka setiap kebijakan, keputusan yang diambil atau dikukuhkannya harus dimaknai sebagai wujud kebijakan dan keputusan selaku khalifah atau kuasa Allah SWT. Yaitu kekuasaan untuk melakukan kebijakan dan keputusan yang nantinya akan dan harus ia pertanggungjawabkan di yaumil hisab ; di hari berhisab.
Ini baru satu contoh dari banyak sekali makna yang dapat disimbolkan oleh keberadaan sebuah karih (keris) pangulu menurut Adat Minangkabau.
B. Keris Sebagai Simbol Hakim
Dalam Adat Minangkabau keris bagi seorang pangulu juga mengandung arti simbolis tentang fungsinya sebagai hakim. Yaitu sebagai penyelesai kesembrawutan, dan persoalan lainnya, seperti yang tercermin dari kata-kata berikut :
sanjato karih kabasaran,
sampiang jo cawek nan tampeknyo,
sisiknyo tanaman tabu,
lataknyo condong ka kida,
dikesong mako dicabuik,
gembo tumpuan puntiang,
tunangan ulu kayu kamat,
kokoh tak rago diambalau,
guyahnyo bapantang tangga,
bengkok nan tangah tigo patah,
tapi luruih manahan tiliek,
bengkok dimakan siku-siku,
luruih dimakan banang,
bungka ganok manahan asah,
ameh batuah manahan uji,
hukum adie manahan bandiang,
jikok bananyo manahan tiliek,
bamato baliek batimba,
tajam tak rago diasah,
putieh tak rago dek bakilie,
sanyawo pulo jo gembonyo,
pantang balampeh ka asahan,
mamutuih rambuik diambuihkan,
tajam nan indak malukoi,
kan parauik parik ulu,
pangikih miang di kampuang,
panarah nan bungkuak sarueh,
ipuah nan turun dari langik,
biso nan pantang katawaran,
jajak ditikam mati juo,
ka palawan dayo rang haluih,
ka panulak musuah di badan,
jalan nan buruak jan tatampuah,
karih sampono ganjo erah,
lahia batin pamaga diri,
patah lidah bakeh alah,
patah karih bakeh mati.
Kata-kata adat di atas mencerminkan bahwa selain menjadi simbol khalifah, dan hakim, keris pangulu juga melambangkan fungsi dan peranan kepemimpinannya dalam hal mempertahankan diri sewaktu menghadapi musuh.
Keris Urang Minangkabau
Seperti penyisipan keris yang miring ke kiri, ini melambangkan suasana perdamaian. Maksudnya jika hendak menggunakannya, keris yang miring ke kiri tersebut tidak bisa langsung dicabut. Kalau ingin mencabut, keris itu harus diputar terlebih dahulu ke arah kanan. Artinya, harus ada kesempatan untuk berfikir ulang dalam menyikapi segala sesuatunya. Jadi, ibarat pemakai keris, setiap orang, terutama seorang yang telah menjadi pangulu diisyaratkan agar jangan sampai berlaku ceroboh. Apalagi bertindak emosional. Ia harus sabar, dan bijak mempertimbangkan akibat dari setiap kebijakan atau setiap tindakannya.
Kemudian seorang yang menjadi pangulu dalam menyikapi sesuatu harus berdasarkan landasan sebagai alasan yang kuat dalam mempertimbangkan segala sesuatunya. Hal ini sesuai dengan ajaran adat yang berbunyi, kok mancancang balandasan, jiko manitih bapamacik (kalau mencencang pakai landasan, jika meniti pakai pegangan).
Alasan alasan yang dipakai pangulu itu harus bisa teruji berdasarkan dalil yang jelas, seperti disebutkan dalam penggambaran sebelumnya :
bengkok dimakan siku-siku,
lurus dimakan benang ukuran,
bungkal genap menahan asah,
emas bertuah menahan uji,
hukum adil menahan banding,
jika benarnya menahan bukti...
Yang terpenting dari segalanya, adalah bahwa seluruh kebijakan dan tindakan yang dilakukan adalah demi kemaslahatan hidup masyarakat banyak. Untuk meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran dan kenyamanan masyarakat yang dipimpinnya. Dengan kata lain yaitu untuk menegakkan yang ma’ruf dan membebaskan masyarakat dari kemungkaran ; amar ma’ruf, nahi munkar.
# Tulisan ini adalah cuplikan dari buku karangan Yulfian Azrial (2012) : Manjadi Pangulu hal. 39-48, Penerbit Pena Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar