Sebagai orang minang yang hidup diperantauan saya sering ditanya masalah
“uang jemputan” ini padahal saya sendiri tidak sepenuhnya mengerti
mengenai masalah ini karena ditempat saya sendiri (payokumbuahi) tidak
ada tradisi tersebut karena memang di ranah minang tradisi tersebut
hanya berlaku di daerah Pariaman. Tetapi untuk sekedar berbagi maka saya
mencoba untuk menguraikan nya yg saya dapat dari sebuah milist di
internet, mudah-mudahan bermanfaat.
Bedakah masing-masing UANG JEMPUTAN & UANG HILANG ?
Umumnya masyarakat yang awam tentang kedua istilah ini menyamakan saja
antara Uang Jemputan dengan Uang Hilang. Padahal tidak semua orang
Pariaman mengerti tentang masalah ini.
Pada awalnya uang
jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan,
Bagindo dan Sidi dimana ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau
garis keturunan ayah atau patriachat.
Dengan demikian di Pariaman berlaku 2 macam gelar, yaitu :
yang satu gelar dari ayah
yang satu lagi gelar dari mamak,
hanya saja gelar dari Mamak, terpakai adalah gelar Datuak dan gelar
Malin saja, misalnya dapat kita contohkan pada seorang tokoh minang yang
berasal dari Pariaman, yaitu Bapak Harun Zein (Mantan Mentri Agraria
dan Gubernur Sumbar). Beliau mendapat gelar Sidi dari ayahnya dan
mendapat gelar Datuak Sinaro dari Ninik Mamaknya. Sehingga lengkaplah
nama beliau berikut gelarnya Prof. Drs. Sidi Harun Alrasyid Zein Datuak
Sinaro (dari persukuan Piliang) .
Lantas siapakah mereka pemegang gelar yang 3 itu?
· Gelar Sutan dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada petinggi
atau bangsawan Istano Pagaruyuang yang ditugaskan sebagai wakil raja di
Rantau Pasisia Piaman Laweh. Ingat konsep luhak ba-panghulu - Rantau ba
Rajo, seperti :
- Rajo Nan Tongga di Kampuang Gadang Pariaman,
- Rajo Rangkayo Basa 2×11 6 Lingkuang di Pakandangan,
- Rajo Sutan Sailan VII Koto Sungai Sariak di Ampalu,
- Rajo Rangkayo Ganto Suaro Kampuang Dalam,
- Rajo Tiku di Tiku dll
· Gelar Bagindo dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada para
Petinggi Aceh yang bertugas didaerah Pariaman. Ingatlah bahwa wilayah
Pariaman & Tiku pernah dikuasai oleh kerajaan Aceh dizaman kejayaan
Sultan Iskandar Muda.
· Gelar Sidi diberikan kepada mereka2 yang bernasab kepada kaum ulama (syayyid), yaitu penyebar agama Islam didaerah Pariaman
Pemakaian gelar tunggal ini langsung diikuti dengan nama-nama, misalnya
Sutan Arman Bahar atau Bagindo Arman Bahar atau Sidi Arman Bahar.
Sedangkan gelar dari Mamak yang bukan gelar Datuak akan ditaruh
dibelakang nama, seperti : Sutan Sinaro, Sutan Batuah, Sutan Sati tidak
lazim dipakai di Pariaman kecuali gelar Malin. Seperti Arman Bahar Malin
Bandaro ada juga terpakai
Banyak adat Minangkabau yang
dipegang teguh di di Pariaman seperti diantaranya “rumah gadang
ka-tirisan (rumah besar yang bocor), gadih gadang indak balaki (gadis
yang sudah cukup umur tetapi belum nikah) dan maik tabujua ditangah
rumah (mayat terbujur di tengah rumah)”. Indak kayu janjang dikapiang.
indak ameh bungkah di-asah, maka yang sering menonjol di Pariaman adalah
“Gadih Gadang Indak Balaki”. Sehingga para Ninik Mamak orang Pariaman
sangat concern untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Saking
pedulinya para Ninik Mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak
balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring
meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan
tingkat suplai anak bujang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium
dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif). Artinya
pihak keluarga anak gadis - siap sedia memberikan kompensasi berapapun
nilainya - asal anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami.
Dari sinilah munculnya Uang Hilang yang dalam prakteknya sama dijalankan
dengan uang jemputan. Pengertian uang jemputan adalah Nilai tertentu
yang akan dikembalikan kemudian kepada keluarga pengantin wanita pada
saat setelah dilakukan acara pernikahan. Pihak Pengantin Pria akan
mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya setara
dengan nilai yang diberikan oleh keluarga Pihak Pengantin Wanita
sebelumnya kepada keluarga Pengantin Pria. Biasanya pemberian ini
dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin
wanita (Anak Daro) berkunjung atau Batandang ka rumah Mintuo. Bahkan
pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak Marapulai
sebelumnya karena ini menyangkut menyangkut gensi keluarga marapulai itu
sendiri.
Karena dalam prakteknya uang hilang dan uang jemputan
dilakukan sejalan/bersamaan, maka yang ke sohor adalah UANG JEMPUTAN.
Padahal yang dipermasalahkan dan keberatan pihak keluarga pengantian
wanita adalah munculnya UANG HILANG atau UANG DAPUR.
Uang
Jemputan ini sebenarnya adalah uang kontribusi dan uang distribusi.
Artinya bagi yang menerima uang jemputan semestinya ia harus
mengembalikan kepada pihak pengantin wanita/anak daro. Sementara UANG
HILANG atau UANG DAPUR merupakan uang kompensasi sesuai dengan
kesepakatan kedua keluarga.
Semuanya jika tidak ada
permusyawarahan antara para ninik mamak dan kesepakatan diantara dua
keluarga. Keboleh jadian bahwa perkawinan tidak akan berlangsung bila
pihak keluarga wanita tidak menyetujui.
Kesimpulannya uang
jemputan tidak sama dengan uang hilang. Uang jemputan memiliki kewajiban
dari keluarga marapulai untuk mengembalikan kepada anak daro dalam
bentuk perhiasan atau pemberian lainnya pada saat dilangsungkan acara
Manjalan Karumah Mintuo
Hal yang wajar bila ada kekhawatiran
kaum ibu orang Pariaman, jika anak lelakinya yang diharapkan akan
menjadi tulang punggung keluarga ibunya kemudian setelah menikah lupa
dengan NASIB DAN PARASAIAN ibu dan adik-adiknya. Banyak kasus yang
terdengar walau tidak tercatat ketika telah menjadi orang Sumando
dikeluarga isterinya telah lalai untuk tetap berbakti kepada orang tua
dan saudara kandungnya. Ketika sang Bunda masih belum puas menikmati
rezeki yang diperoleh anak lelakinya itu menjadikan para kaum ibu di
Pariaman keberatan melepas anak lelakinya segera menikah. Dikawatirkan
bila anak lelakinya itu cepat menikah, maka pupus harapannya menikmati
hasil jerih payahnya dalam membesarkan anak lelakinya itu. Lagi pula
para kaum ibu itupun sadar bahwa tanggung jawab anak lelakinya yang
sudah menikah, akan beralih kepada isteri dan anaknya.
Ketika
datang desakan dari pihak gadis dan tiap sebentar datang mendesak sesuai
tradisi yang berlaku di daerah itu, maka posisi anak bujang itu menjadi
begitu berarti. Bahkan agak terkesan memaksakan kehendak jika tidak
dikatakan merongrong dari berbagai fihak keluarga gadis yang ingin
bemenantukan anaknya. Hal yang lumrah pula bila suatu keluarga
menginginkan anak gadis mereka cepat menikah sebelum datang tudingan
perawan tua bagi seorang anak gadis. Sebaliknya seorang Ibu yang
mempunyai anak bujang yang sudah mapan kehidupannya tentu ia akan
meneriman tawaran menggiurkan berupa UANG HILANG atau apapun istilahnya
dari fihak keluarga gadis.
Sebagaimana telah diuraikan
terdahulu, ketika orang yang datang mendesak, maka ketika itu sesuai
teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat
permintaan - terjadilah tawar menawar. Bargaining power akan lebih kuat
bila sang ibu pihak lelaki mempunyai anak yang mapan seperti dokter,
saudagar sukses, insinyur chevron bahkan bergelar Sidi pula lagi
Keluarga mana yang tidak ingin anak gadisnya akan hidup tenang dengan
calon suami yang keren & mapan begitu. Jadilah pepatah yang berbunyi
“indak ameh bungkah di-asah, indak kayu janjang dikapiang” asal anak
gadisnya mendapatkan anak bujang yang sudah mapan hidupnya. Para Gadis
tentunya akan senang bersuamikan dokter atau insinyur chevron yang
gajinya besar itu
Disini kita lihat betapa pedulinya Para Mamak
orang Pariaman untuk masalah yang satu ini, dalam rangka menghindari
Gadih Gadang Indak Balaki alias perawan tua.
Mohon maaf kalau tidak sepenuhnya benar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar